Budayaku, Kamu, dan Kita Semua

 


Beragam budaya..

Begitu mengagumkan

Keelokan alamnya

Oh, sungguh mempesona..

Indahnya negeriku...

Ku cinta, aku terpana

Pesona Indonesia


Ada yang tahu nggak tulisan di atas diambil dari mana? Eits, itu bukan puisi ya. Buat yang pernah lihat video pariwisata Indonesia, pasti nggak asing sama penggalan kata-kata tersebut. Yaps, itu adalah lirik lagu yang digunakan untuk mempromosikan pariwisata Indonesia.

Sebagai Warga Negara Indonesia, kalau ditanya soal negara sendiri, pasti sebagian besar akan menjawab bahwa kita bangga akan kecantikan alam atau keragaman seperti penggalan lirik diatas. Nggak heran kalau kata seperti kepulauan, pluralitas, majemuk, atau multikultural bakal selalu disebutkan untuk menggambarkan negara kita. Karena hal tersebutlah maka kita tak perlu kaget kalau ternyata banyak negara lain yang kagum akan Indonesia.

Ngomong-ngomong soal keberagaman, aku jadi ingat kebudayaan yang dimiliki Indonesia itu cukup banyak. Kebetulan, aku ingin membahas beberapa kebudayaan di sekitarku. Tapi tunggu dulu! Sebelum aku ulas beberapa kebudayaan yang mungkin sudah akrab dengan kita semua, aku bakal membahas secara singkat mengenai arti kebudayaan.

Kata kebudayaan, lahir dari kata dasar budaya yang diberi prefiks ke- dan sufiks -an. Selain itu, ternyata kata budaya diambil dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah dan punya arti sebagai hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Wah pantesan aja manusia selalu disebut sebagai makhluk yang berbudi dan berakal ya. Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Koentjaraningrat, semua sistem gagasan, tindakan juga hasil karya manusia adalah sebuah kebudayaan itu sendiri. Kesimpulannya, kebudayaan adalah keseluruhan kerja manusia. Berdasarkan definisi tersebut, Koentjaraningrat selaku bapak Antropologi Indonesia, membagi kebudayaan menjadi tujuh. Kemudian hal inilah yang akhirnya dikenal sebagai tujuh unsur kebudayaan. Tujuh unsur tersebut tidak lain adalah kepercayaan, mata pencaharian, teknologi, pengetahuan, kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian. Jadi, kebudayaan itu nggak melulu soal kesenian atau upacara adat aja kok. Tapi bisa juga soal mata pencaharian dan kemasyarakatan yang ada di suatu negara. Wah ternyata cukup kompleks ya makna dari kebudayaan ini 😄 

Gimana? Udah mulai ingat dan paham kan apa itu kebudayaan? Nah, karena udah paham, aku bakal bercerita sedikit tentang kebudayaan yang sangat menarik disekitarku.

 

Jaran Kepang



Kuda anyaman
(sumber: www.dreamstime.com)
 

Jaran kepang atau yang biasa disebut kuda lumping ini adalah sebuah pertunjukan kesenian yang menggunakan kuda anyaman. Aku masih ingat pernah menonton pertunjukan jaran kepang seusai mengikuti kegiatan jalan sehat dalam rangka ulang tahun Republik Indonesia. Biasanya kesenian ini ditanggap bersamaan dengan kesenian bantengan. Beberapa orang menyebutnya jaranan, jathilan, dan kuda lumping. Jadi jaran kepang ini awalnya merupakan sebuah upacara pemujaan, namun seiring berjalannya waktu terjadi pergeseran makna. Hingga kini jaran kepang menjadi kesenian yang bertujuan untuk menghibur masyarakat.

Sesuai dengan namanya, ciri khas utama dari kesenian ini adalah kuda yang terbuat dari anyaman bambu serta atraksinya yang dikenal mistis. Konon, jaran kepang merupakan simbol dari kegagahan kesatria yang melawan para penjajah di zaman kolonial, loh!


Sendratari Jaran Kepang
(sumber: www.instagram.com/budoyojawi)

Mungkin tidak banyak yang mengetahui kalau penampilan jaran kepang ini terbagi ke beberapa golongan yakni sendratari, festival, dan ‘tanggapan’. Tanggapan disini maksudnya masyarakat memanggil penari untuk tampil di acara tertentu. Berbeda dengan sendratari dan festival, pertunjukan jaran kepang dikemas dan dipersiapkan lebih matang baik dari segi koreografi hingga latarnya. Oleh karena itu, sisi ‘seni’ pada pertunjukan jaran kepang sendratari dan festival akan lebih menonjol dibanding jaran kepang tanggapan.

Masih segar di ingatan bagaimana pertunjukan jaran kepang tanggapan menampilkan penarinya yang kesurupan hingga melakukan atraksi ekstrim seperti makan beling! Terdengar ngeri, bukan? Tapi justru di sanalah daya tarik penampilannya. Gimana, penasaran?

 

Tradisi Berburu Celeng


Berburu Celeng
(sumber: liputan6.com)

Pada tahu celeng kan? Buat yang belum tahu, celeng adalah sebutan lain dari babi hutan. Tepatnya di Desa Tlogopakis, Kabupaten Pekalongan ada sebuah  tradisi yang bernama perburuan babi hutan. Kita semua tahu bahwa babi hutan terkenal liar dan cukup ganas, bahkan seorang manusia bisa terluka parah karena serangannya. Hebatnya, masyarakat Desa Tlogopakis sempat melakukan perburuan hewan yang lumayan diwaspadai itu tanpa takut terluka. Berdasarkan yang aku baca nih, alasan utama dari dilakukannya perburuan tersebut adalah untuk menunjukkan maskulinitas para pria di desa tersebut. Hmm…menarik sekali, kan!

Hal ini terjadi karena di masa tersebut, keberadaan laki-laki kurang dihargai karena warga Desa Tlogopakis menganut sistem keluarga matrilineal. Matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur keturunan berasal dari pihak ibu. Melalui perburuan babi hutan inilah mereka ingin menunjukkan kekuatan serta kemampuan mereka dalam menjadi sosok pemimpin.

Entah kabar baik atau buruk, tradisi perburuan ini mulai pudar karena adanya perkembangan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian, para lelaki Desa Tlogopakis mengalihkan objek penentu maskulinitas menjadi kuda besi alias sepeda motor, bukan babi hutan lagi. Makin mahal dan bagus sepeda motor yang dimiliki, makin meningkat pula maskulinitas laki-laki Desa Tlogopakis.


Bahasa Jawa ‘Arek’

Buat kalian yang tinggal di daerah Jawa Timur terkhusus di Surabaya dan Malang, tentunya nggak asing sama bahasa arek ini kan? Kebetulan aku biasa menggunakan bahasa jawa ‘arek’ dalam keseharianku.


Perbandingan Bahasa Jawa Arek dan Mataraman
(sumber: fortuner.id)

Bahasa arek merupakan sebutan bahasa Jawa kasar yang digunakan dalam kehidupan masyarakat sekitar Surabaya dan Malang. Ternyata selain punya tingkatan bahasa, bahasa Jawa juga terbagi menjadi dua jenis dialek yaitu Jawa Mataraman dan Jawa Arek. Kok bisa disebut ‘arek’ sih? Disebut ‘arek’ itu karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko atau bisa dibilang jawa kasar. Jadi, bisa disimpulkan kalau Jawa Mataraman lebih banyak menggunakan jawa halus. Dialek ini kebanyakan digunakan di wilayah sekitar Malang dan Surabaya, tetapi karena perpindahan masyarakat, ada beberapa wilayah yang dialeknya sudah bercampur dengan dialek wilayah lainnya.  Keren ya, sama-sama bahasa Jawa tetapi berbeda.

Itu tadi hanya tiga dari banyaknya kebudayaan yang negara kita miliki. Masih ada lebih banyak lagi kesenian hingga ilmu pengobatan tradisional yang merupakan bagian dari kekayaan kebudayaan Indonesia. Kalau berkenan, kalian boleh menceritakan di kolom komentar mengenai kebudayaan apa yang membekas atau bahkan kalian rasakan langsung. Dan rasanya lebih seru kalau kita bisa saling bertukar pengalaman.

Jangan lupa pula bahwa kita tetap harus menjaga dan melestarikan kebudayaan yang sudah diwariskan oleh nenek moyang kita. Kemajuan IPTEK bukanlah suatu penghalang untuk melestarikan budaya. Contohnya saja mengenai tradisi berburu babi hutan yang kini sudah pudar karena muculnya sepeda motor. Kalau saja babi hutan diburu hingga saat ini, mungkin anak-anak di desa Tlogopakis hanya bisa mengenali babi hutan melalui cerita atau gambar saja. Belum lagi bakalan ada kekacauan rantai makanan karena menurunnya populasi babi hutan. Dampaknya tentu aja akan merambat kemana-mana. Jadi, secara nggak langsung melestarikan budaya artinya ikut menjaga lingkungan.

Cocok banget dengan pepatah ‘sekali dayung dua tiga pulau terlampaui’. Budaya lestari, lingkungan pun makin indah berseri! 

Karena Indonesia adalah aku, kamu, dan kita semua.

 

 

2 komentar

  1. Setuju banget bagaimana majunya Kuta harus tetap memegang dan melestarikan budaya dan tradisi

    BalasHapus
  2. Bener tuh, karena budaya ya lingkungan itu sendiri! Budaya ada dimana-manaa, hihii

    BalasHapus